“Saya lebih suka melihat koperasi berkembang daripada seribu orang kaya.”

— Bung Hatta

 

Tulang Bawang, 12 Agustus 2025. Ada yang bilang, hidup itu soal meninggalkan jejak. Tapi Bung Hatta… seolah-olah justru berusaha tidak meninggalkan apa-apa — kecuali nilai-nilai yang dalam, sunyi, dan menempel di hati orang yang pernah mengenalnya.

Hari ini, 12 Agustus, kita memperingati ulang tahun pria itu. Lahir di Bukittinggi, 1902. Seorang cendekia, proklamator, wakil presiden, dan… satu gelar yang mungkin paling pas menggambarkan laku hidupnya: Bapak Koperasi Indonesia.


Tapi kalau kita bicara Bung Hatta cuma dari gelarnya, dari sejarah politik, atau dari fotonya yang diam berdiri di samping Soekarno — kita bakal melewatkan banyak hal. Karena sesungguhnya, Bung Hatta itu lebih dari sekadar tokoh. Beliau adalah teladan hidup yang berjalan dengan kepala tegak dan hati yang tenang.



Sepatu Bally, dan Kesederhanaan yang Menyesakkan


Pernah dengar kisah sepatu Bally?

Bung Hatta muda, waktu belajar di Belanda, terpikat sekali dengan sepatu buatan Swiss itu. Tapi harganya tidak main-main. Dia tahan. Dia pikir, nanti saja, kalau sudah mapan. Lalu waktu berlalu. Dia jadi wakil presiden. Tapi... sepatu itu masih belum dibeli. Bukan karena dia tidak bisa. Tapi karena dia tidak mau. Ia merasa, memakai uang negara buat beli barang mewah bukan haknya. Walau cuma sepasang sepatu. 


Setelah Bung Hatta wafat pada 14 Maret 1980, keluarga menemukan selembar guntingan iklan koran tentang sepatu merek Bally yang tersimpan rapi di dalam dompetnya. Iklan tersebut menjadi "saksi bisu" dari kerinduan sederhana beliau terhadap sepatu impian yang tak sempat dibeli hingga akhir hayatnya—meski secara posisi, beliau sebenarnya bisa saja membelinya dengan mudah.

 

Dan yang bikin kisah ini makin perih? 

Konon menurut sejumlah kisah yang beredar sepatu itu akhirnya datang. Warnanya hitam mengkilap, elegan, merek Bally. Sepatu yang sama—atau paling tidak mirip—dengan yang Bung Hatta pernah impikan puluhan tahun lalu. Tapi ia tak sempat mencobanya. Sepatu itu tiba di rumah ketika Bung Hatta sudah terbujur kaku. Ia wafat dalam kesederhanaan, dalam diam, tanpa riuh sorotan. Sepatu itu diletakkan di samping jenazahnya—bukan untuk dikenakan, melainkan untuk menebus sebuah janji yang tak pernah sempat ditepati: janji pada diri sendiri bahwa kelak, jika mampu, ia akan membelinya. Anak-anaknya baru bisa membelikan sepatu Bally itu setelah beliau wafat. Sepasang sepatu yang akhirnya diletakkan diam di samping jenazahnya. Tak pernah dipakai. Tak pernah diinjakkan ke tanah. 


Bung Hatta: Harga Diri yang Tak Pernah Padam 

Bung Hatta tidak hidup dari jabatan. Setelah tidak lagi di pemerintahan, beliau tidak mendirikan partai, tidak membangun bisnis besar, tidak melobi siapa-siapa. Yang dilakukannya? Beliau menulis. Duduk di ruang kerja kecil. Menulis buku. Untuk dijual. Untuk makan. Sahabat, kita bicara tentang seorang mantan wakil presiden. Proklamator. Tapi dia memilih hidup dari pikirannya sendiri, bukan dari koneksi atau nostalgia kekuasaan.


Suatu hari, listrik di rumah Bung Hatta diputus. Bukan karena beliau tak peduli, tapi karena memang tak ada uang untuk membayar tagihan. Bagi banyak orang, mungkin mudah saja meminta bantuan atau memanfaatkan jabatan. Tapi tidak bagi Hatta. Sejak muda, ia memilih hidup sederhana dan menolak segala bentuk keuntungan pribadi dari kekuasaan. Dalam sebuah surat, ia pernah menulis, “Saya tidak punya apa-apa. Tapi saya punya harga diri.”


Bagi Hatta, harga diri itu seperti listrik sejati dalam hidup—memberi cahaya yang tak akan pernah padam, sekalipun lampu di rumahnya mati. Nilai inilah yang mengalir ke seluruh pemikiran beliau, termasuk tentang koperasi.

Koperasi: Menyalakan Cahaya untuk Semua

 

Hatta percaya, koperasi adalah cara rakyat menyalakan lampu kehidupannya sendiri. Koperasi bukan sekadar tempat berjualan atau meminjam uang. Ia adalah ruang bersama, di mana setiap orang yang masuk menjadi pemilik sekaligus penentu arah. Di mata Hatta, koperasi adalah perwujudan nyata dari kemerdekaan ekonomi: rakyat tidak menunggu bantuan, tidak tunduk pada tengkulak, dan tidak tergantung pada kemurahan hati segelintir orang.

 

Seperti dirinya yang memilih hidup tanpa menggadaikan harga diri, Hatta ingin rakyat kecil juga mampu berdiri di atas kaki sendiri. Dengan koperasi, cahaya di rumah-rumah rakyat tak akan padam hanya karena tak mampu membayar. Sebab, yang dinyalakan bukan hanya lampu listrik, tapi juga semangat, kemandirian, dan martabat.

 

Bung Hatta mencintai koperasi bukan karena itu alat ekonomi, tapi karena itu cerminan dari nilai yang beliau pegang teguh: gotong royong, keadilan, dan martabat manusia. Baginya koperasi itu bukan perusahaan, tapi gerakan moral. Koperasi itu cara untuk mengangkat yang kecil tanpa harus menindas yang besar. Koperasi itu ruang buat semua orang tumbuh bersama, bukan saling sikut demi keuntungan pribadi.


Beliau menyampaikan bahwa ia lebih memilih koperasi berkembang daripada seribu orang kaya baru. Karena yang beliau ingin lihat bukan orang sukses sendirian, tapi masyarakat yang naik kelas bersama-sama.


Refleksi Kecil Buat Kita

 

Hari ini, koperasi kadang kehilangan ruhnya. Ada yang sekadar formalitas. Ada yang dikelola layaknya bisnis biasa — bahkan kadang malah jadi alat segelintir orang buat menyedot keuntungan.

Padahal, kalau kita mau jujur… apa yang Bung Hatta ajarkan itu justru paling relevan hari ini.


Saat semua serba instan, Bung Hatta mengajari kita tentang kesabaran dan proses.

Saat semua orang ingin cepat kaya, dia justru mengajarkan hidup cukup dan jujur.

Saat kekuasaan jadi panggung, dia justru memilih diam dan menulis.


Dan koperasi, kalau mau bertahan… harus kembali ke nilai itu. Ke akar. Ke hati.


Kita mengenang Bung Hatta bukan hanya sebagai proklamator atau Bapak Koperasi. Tapi juga sebagai manusia langka yang ajarannya tak pernah berhenti relevan: tentang integritas, kesederhanaan, dan cinta pada bangsa tanpa pamrih.

 

Selamat ulang tahun, Bung Hatta..

 

📝 Catatan:

Kisah tentang anak-anak Bung Hatta baru membelikan sepatu Bally setelah beliau wafat, merupakan kisah populer yang banyak beredar dari mulut ke mulut di masyarakat. Meskipun tidak selalu terdokumentasikan secara resmi dalam sumber sejarah primer, cerita ini tetap hidup dan dipercaya banyak orang sebagai cerminan kesederhanaan dan integritas Bung Hatta.

·